Rabu, 22 Oktober 2008

puisi untuk kak Kristina

aku berlari cepat-cepat
menelusuri jalan kecil diantara gedung-gedung kuliah
rasanya ingin kutabrak saja orang-orang itu
mereka berdiri di mana-mana
menghalangiku saja


kutelusuri selasar kampus yang berjejal orang-orang
mereka sedang sibuk dengan ujian,, jadi aku terpaksa paham
5 meter lagi, aku bisa meraih gedung merah di depan sana!!
pikirku kencang..

sampai juga aku disini..
ternyata aku hanya terburu-buru untuk membuat puisi untuk kakakku

namanya kak Kristina..
iya namanya kak kristina..
aku mengenalnya baik, dia juga mengenalku
sulit bagiku menyimpan rahasia di depannya
statusnya adalah sebagai kakak KTB, tapi aku memecatnya jadi kakak KTB
karena dia juga lebih suka, jadi kakak SARI dari pada kakak KTB..mungkin..
mungkin atau memang..??

lalu aku mengurungkan niatku untuk memikirkannya di otakku
aku harus mengakhiri puisi ini..
jagan sampai aku banyak memujinya di puisiku..aku malu melakukanya!!

inilah puisi cinta untuk kak Kristina
puisi ini dibuat dengan sungguh2..
hanya ada beberapa kalimat yang harus direpres
aku hanya takut dia beebunga2 dengan puisiku
inilah puisi cinta untuk kak kristina

Selasa, 14 Oktober 2008

menilik kembali akselerasi

Menilik Kembali Akselerasi ”
Oleh : Ardi Primasari
Program aksekerasi merupakan program pembelajaran yang memungkinkan siswa berbakat dan berpotensi akademisi tinggi mencapai target kurikulum lebih cepat dengan tetap mempertahankan mutu pendidikan. Adapun tujuan dari program akselerasi yaitu untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak berpotensi akademik dan berkepribadian utuh untuk mewujudakan bakat dan kemampuan secara optimal serta memberikan kesempatan kepada siswa SLTP dan SMU untuk menyeleseikan program pendidikan dalam kurun waktu dua tahun dan pada siswa SD untuk menyeleseikan program dalam waktu lima tahun. (
www.bpkpenabur.or.id)
Ketika pemerintah merestui program Kelas Alselerasi, yang selalu dikemukakan ialah pemenuhan hak asasi peserta didik sesuai dengan kebutuhan pendidikan bagi pemenuhan hak asasi peserta didik sesuai denagn kebutuhan pendidikan bagi dirinya sendiri.
Penyelenggaraan sistem akselerasi dari segi waktu memang menguntungkan dan secara konseptual program alselerasi ni cukup bagus relevansinya. Siswa memiliki bakat intelektual yang tinggi akan terbantu secara khusus, sehingga mereka mendapatkan bantuan pengajaran yang lebih sesuai dengan bakatnya. Mereka cepat lulus, diperkirakan kelulusan mereka setahun lebih awal dibanding siswa biasa. Jadi, keuntungannya terletak pada akselerasi pengajaran. Kelas model alselerasi ini memang menjajanjikan siswa lebih cepat selesai dibandingkan melalui tahapan-tahapan pada ummnya. (
www.suaramerdeka.com).
Meskipun penyelenggaran akselerasi dapat dikatakan hemat waktu namun penyelengggaraan alselerasi menuai banyak pro dan kontra. Ada beberapa kelemahan yang turut megiringi penyelenggaraan akselerasi. Pertama adanya stigmatisasi pada diri siswa reguler, bisa dikatakan bahwa kelas reguler lebih rendah dibandingkan kelas akselerasi. Kedua timbulnya budaya inferior, muncuk kelas-kelas eksklusif, arogansi dan elitisme. Masing-masing siswa membentuk group reference mereka sendiri. Ketiga, terjadi dehumanisasi pada proses belajar siswa akselerasi di sekolah. Materi pelajaran yang diseleseikan oleh siswa reguler selama satu tahun harus dilahap habis siswa akselerasi selama satu semester (enam bulan). Keempat, siswa kelas akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk belajar mengembangkan aspek afektif. .(
www.suaramerdeka.com)
Menurut pengamat pendidikan sekaligus dewan pensehat Centre for The Betterment of Education, Darmaningtyas, tidak sepenuhnya setuju dengan kelas akselerasi. Baginya, lekas tersebut hanya mempercepat perkembangan kognitif peserta didik, tetapi tidak mempercepat sisi afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain bahwa akselerasi hanya berorientasi pada tataran kognitif saja.
Hasil tes pengukuran kecerdasan emosinal menunjukkan bahwa skor kecerdasan emosional siswa akselerasi lebih rendah dari pada siswa reguler. Namun rendahnya tidak signifikan. Ini dapat disimpulkan bahwa program akselerasi Indonesia berbasis kurikulum nasional belum mencapai tujuan yang telah dirumuskan, seperti meningkatnya kecerdasan emosonal. Siswa benyak yang stress, tegang, hingga jarang berkomunikasi.
Menurut Prof. Suyanto (2003) dijelaskan bahwa pengelompokan berdasarkan kecerdasan kognitif saja sebenarnya tidak memilili dasar filosofi yang benar. Kalau penyelenggaraan alselerasi ini tidak dibenahi maka dunia pendidikan telah lepas dari lingkaran dinamika kehidupan kontekstual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Maka output yang dihaislkan hanyalah generasi-generasi dengan berotak brilian namun miskin kcerdasan secara emosi. Padahal yang menjadi kebutuhan kita sekarang ini adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan rohani untuk menyeleseiakn berbagai persoalan.
Fenomena sosial yang muncul di dalam penyelenggaran program alselersai adalah padatnya jam belajar peserta didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Secara tidak langsung, fenomena ini akan bermuara pada “perampasan” hak-hak peserta didik dalam kehidupannya. Anak didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinterksi dengan lingkungan. (
www.researchengines.com).
Istilah aselerasi menunjukan pada pelayanan yang diberikan atau service delivery dan kuikulum yang disampaikan atau curruculum delivery (Colengelo dalam Hawadi,2004). Sebagai model pelayanan pengertian akselerasi termasuk juga taman kanak-kanak atau perguruan tinggi pada usia muda, meloncat kelas dan mengikuti pelajaran tertentu pada kelas di atasnya. Sementara itu, sebagai model kurikulum akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasasi oleh siswa saat itu.
Lebih lanjut, Colangelo mengingatkan bahwa akselerasi sebagi model pelayanan gagal dalam memenuhi kurikulum terdiferensiasi bagi anak berbakat. Siswa menerima instruksi dan pengalaman belajar yang disusun untuk rata-rata siswa yang lebih tua dari anak berbakat tersebut. Tetapi kurikulum tidak berubah dan tidak memenuhi kebutuhan anak berbakat. Kecepatan dan isi tidak berubah. Siswa berbakat semata-mata hanya mendapatkan pengalaman lebih awal dari biasa diperoleh untuk anak sebayanya. Sementara itu, sebagai model kurikulum, akselerasi hanya akan membuat anak berbakat menguasai banyak isi pelajaran dalam waktu yang sedikit.
Secara konseptual, pengertian acceleration diberikan oleh Perssey dalam Hawadi (2004) sebagai usaha kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran, pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda dari pada yang konvensional. Definisi ini menunjukkan bahwa akselerasi meliputi persyaratan untuk menghindari hambatan pemenuhan permintaan dalam pengajaran dan juga mengusulkan proses-proses yang memungkinkan siswa melalui pemberian materi yang lebih cepat dibanding dengan kemajuan rata-rata siswa.
Menurut Schneiders (1964), kondiis internal individu yang meliputi konidisi fisik, kematangan emosi, kematangan intelektual, kematangan moral, determinan psikologis dan unsur-unsur budaya sangat berperan dalam proses penyesuaian sosial. Kondisi eksternal yang juga berperan pada proses penyesuaian sosial adalah kondisi keluarga dan lingkungan sekolah.
Hurlock (1991) mengatakan , penyesuaian sosial adalah keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Penyesuaian sosial perlu dilakukan dalam lingkungan keluargam sekolah dan mesyarakat. Untuk mengatasi hambatan dan memuaskan kebutuhannya, individu harus mampu melakukan penyesuasian sosial. Apbila individu sudah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, maka individu tersbut telah mampu melakukan penyesuaian sosial. Apabila individu sudah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, maka individu tersebut telah mampu melakukan penyesesuaian sosial.
Salah satu penyesuaian sosial yang dilakukan individu yaitu penyesuaian sosial lingkungan sekolah. Di sekolah siswa dituntut untuk mampu beradaptasi dan memahami hunungan baik dengan teman-teman sekolah, guru dan pembimbing sekolah. Siswa mampu bertanggung jawab dalam kegiatan yang diselenggarakan sekolah, serta mematuhi peraturan-peraturan sekolah, karena menurut Schneiders (1964), penyesuaian sosial siswa di sekolah tampak dari kemampuan siswa untuk beradaptasi dan membina hubungan baik dengan teman-teman di sekolah. Guru, dan pembimbing sdekolah, sikap tangungjawab dalam kegiatan yang diselengggrarakan sekolah, serta kepatuhan terhadap peraturan-peraturan sekolah.
Sebagai warga sekolah siswa harus mamapu melakukan penyesuaian sosial di sekolah dengan baik. Hal ini sangat penting bagi siswa, karena menurut Hurlock(1991), siswa yang mampu melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya, dibandingkan dengan siswa yang ditolak oleh teman sekelasnya. Siswa yang memilki kemampuan sosial dengan baik akan memiliki dasar utuk meraih keberhasilan pada masa dewasa. Sebaliknya siswa yang gagal melakukan penyesuaian sosial di sekolah dapat merasa kurang bahagia dan ttidak menyukai dirinya sendiri. Akibatnya, siswa akan mengembangkan sikap egois, tertutup, bahkan anti sosial.
Penenrimaan dari lingkungan, teman sebaya, dan masyarakat mempunyai arti dan manfaat sangat besar. Siswa diharapkan bertanggung jawab secara sosial, mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep-konsep yang penting bagi kompetisi siswa sebagai warga negara dan berusaha mandiri secra emosional (Huvinghurt dalam Hurlock,1992). Siswa harus mampu manjalin hubungan harmonis dengan warga sekolah sehingga prosese penyesuaian sosial siswa di sekolah berlangsung dengan baik. Apabila hal tersebut berlangsung dengan baik maka siswa kan terhindar dari hambatan dalam mengenbangkan potensi dirinya serta mampu berprestasi secara maksimal karena lingkungan sosialnya mendukung.
Menurut Schneiders (1964), dalam diri siswa terdapat kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan terkait dengan kedudukan siswa sebagai makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan orang lain. Untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan siswa harus melakukan penyesuaian sosial, sehingga tidak terlepas dari kedudukannya sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam melangsungkan hidupnya. Kematangan emosi menurut Chaplin (2002), adalah suatu keadaan tau kondisi mencapai tingkat kedewasan pada perlembangan emosional sehingga individu tidak lagi menampilkan pola emosi seperti anak-anak.
Fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari mununjukkan bahwa siswa kurang mampu melakukan penyesuian sosial di sekolah, karena siswa kurang bisa beradaptasi dan membina hubungan baik dengan guru dan pembimbing sekolah. Menurut Sarwono (2002), factor-faktor yang menghambat siswa dalam beradaptasi dan membina hubungan baik dengan guru dan pembimbing sekolah karena 22.7 % guru kurang menarik dalam penyejian pelajaran, 1,7% materi dari guru yang bersangkutan sulit dipahami, 10,5% penyampaian materi terlalu cepat, dan 12,2% kurangnya komkunikasi antara siswa dan guru. Hal tersebut menyebabkanm siswa bosan, kecewa, kurang menyukai guru yang bersangkutan.
Sering dijumpai siswa –siswa yang cerdas dan berbakat tidak mampu mencapai prestasi maksimal, kurang mampu berhubungan dengan teman-teman, mengisolasi diri, tidak nyaman di sekolah, dan kesulitan beradaptasi dengan kegiatan-kegiatan kelompok. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Akbar (1995) terhadap 20 SMA unggulan di 16 propinsi yang siswa-siswanya termasuk dalam criteria berbakat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 20-25% siswa-siswa berbakat mengalami masalah social emosionallebih tinggi dengan lingkungan sekitarnya disbandingkan siswa-siswa yang mempunyai kemampuan rata-rata.
Progam akselerasi merpakan layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yng memilk kemmapuan dan kecredasan luar biasa dengan penyeleseian waktu belajar lebih cepat atau lebih awal dari waktu yang telah ditentukan pada setiap jenjang belajar (Depdiknas,2001)
Dalam program akselerasi menurut Akbar (2004, terdapat pemadatan materi yang dapat dilihat dari perbandingan alokasi waktu yang diperlukan untuk menyeleseikan studinya. Meskipun program akselerasi dapat memberikan manfaat positif bagi keberhasilan siswa dalam berprestasi secara akademik, namun penulis berasumsi bahwa program akselerasi dapat menimbulkan efek negatif pada kehidupan sosial siswa.
Salah satu masalah pada siswa akselerasi dengan kehidupan sosial adalah masalah penyesuaiaan sosialnya. Penyesuaian sosial sangat diperlukan siswa untuk mampu berinterkasi dan menjalin hubungan sehat dan akrab dengan lingkungannya. Kepadatan materi yang diberikan pada siswa akselerasi akan mengurangi waktu untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya, mengurangi aktivitas sosialnya terutama tugas perkembangan usianya. Interaksi yang minim dapat menyebabkan siswa kurang memilki kesempaan untuk mengembangkan diri, belajar memahami orang lain, bahkan kemungkinan siswa dapat menjadi pribadi egois karena hanya melihat atau menilai sesuatu dari udut pandangnya sendiri, siswa juga tidak memahami lignkungan sekitar serta kurang memiliki pengalaman hidup bersama dalam suatu kelompok dan kurang memiliki kemampuan menjalin hubungan sosial dengan orang lian. Hal ini akan mempengaruhi keberhasilan dirinya dalam menjalin hubungan sosial denga masyarakat luas atau denga kata lian siswa tersebut rentan tingkat penyesuaiaan sosial rendah (Bernas, 2004)
Hal senada diungkapkan oleh salah seorang siswa SMA akselerasi di Yogaykarta, bahwa dari hari Senin hungga Sabtu selalu disibukan dengan kegiatan-kegiatan sekolah dan juga dibebani tugas-tugas cukup benyak sehingga kurang mempunai waktu untuk berinteraksi dengan teman-temannya. Pada saat istirahat siswa akselerasi lebih suka membaca materi pelajaran berikutnya drai pada berinteraksi dengan teman-temannya. Pemadatan materi dari guru menyebabkan siswa akselerasi harus belajar ekstra keras agar siswa tidak ketinggalan dengan pelarajaran yang diberikan guru. Hal itu mengakibatkan banyak siswa akselerasi menjadi kurang perhatian dan enggan berpartisipasi dalam kegiatankegiatan yang diselenggarakan sekolah
Siswa akselerasi adalah siswa –siswa pilihan yang memilk kemmapauan dan kecerdasan di atas rata-rata. Siswa akselerasi pada tingkat SMU termasuk pada masa-masa remaja. Masa remaja merupakan masa-masa individu mengalami peralihan. Pada fase ini mengalami perubahan perilaku dan perubahan emosi karena penyesuaian perkembangan piskis dan perkembangan fisik, Pada masa remaja menurut Huvighurst (dalam Hurlock, 1992), kematangan emosi sangat diperlukan individu atau siswa dalam berinteraksi denga lingkungannya karena individu yang telah matang emosinya akan diterima oleh lingkungan sosialnya, mampu bertanggungjawab secara sosial dan mampu mandiri secara emosional.
Hasil penlitian Akbar (1995) menunjukkan bahwa siswa akselerasi mengalami masalah sosial emosional dengan lingkungan sekitranya lebih tinggi dari pada siswa regular. Lebih lanjut dijelaskan bahwa siswa akselerasi terlalu disibukan denga kegiatan-kegiatan sekolah secara padat sehingga harus mempunyai control meosi denga nbaik agar tidak dapat mengalami masalah sosial emosional. Mengacu pada pendapat tersebut di atas maka penilis berpendepatan bhwa siswa akselerasi yang telah matang emosinya akan terhindar dari konflik dengan dirinya, siswa akan mampu megnontrol emosi, mampu berdiri sendiri dan tidak mudah frustrasi.
Southern dan Jones dalam Hawadi (2004) menyebutkan empat hal yang berpontensi negative dalam proses akselerasi bagi anak berbakat. Pertama, dari segi akademik, Bahan ajar yang terlalu tinggi bagi siswa membuat mereka menjadi tertinggal di belakang kelompok teman barunya, dan akan menjadi siswa yang berprestasi sedang-sedang saja. Bisa jadi kemampuan siswa akseleran yana terlihat melebihi teman sebayanya terlihat sementara. Dengan bertambahnya usianya, kecepatan prestasi siswa menjadi biasa-biasa saja dan sama dengan teman sebayanya. Hal ini menyebabkan kebutuhan akselerasi menjadi tidak perlu lagi dan siswa akseleran lebih baik dilayani di kelas regular. Meskipun memenuhi persyaratan dalam akademis. Siswa akseleran kemungkinann secara sosial, fisik, dan emosional dalam tingkatan kelas tertentu. Proses akselerasi menyrbabakan siswa akseleran terikat pada keutusan karier lebih dini. Siswa akseleran mungkin mengembangkan kedewasaan yang luar biasa tanpa adanya pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Pengalamn-penglaman yang sesuai untuk anak seusianya tidak dialami oleh siswa akseleran karena tidak merupakan bagian dari kurikulum. Kedua, dari berkurangnya kesempatan kegiatan ekstra kulikuler. Kebanyakan aktivitas ekstraakulikuler berkaitan erat dengan usia. Hal ini menyebabkan siswa ekseleran akan berhadapan dengan teman sekelasnya yang tua dan tidak memberikannya kesempatan. Ketiga, dari sisi penyesuaian sosial. Siswa akseleran pada akhlirnya akan mengalami burn out di bawah tekanan yang ada dan kemungkinan akan menjadi underachiever.Siswa akseleran menjadi mudah frustrasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi .Adanya tekanan untuk berprestasi memuat siswa akseleran kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi.
Akselerasi sesungguhnya didesain untuk memfasilitasi bagi anak yang berkebutuhan khusus (dalam hal ini gifted), ternyata hanya mampu memfasilitasi kemmapuan kognitif saja. Kematangan emosional maupun kondisi psikososial bagi peserta didik akselerasi masih terkesan dinomor duakan. Padahal, sesungguhnya antara kemmapuan kognitid, emosi, maipun sosial itu tidak dapat berdiri sendiri. Bila ada percepatan di satu bidang, untuk menyeimbangkan dibidang kognitif mengurangi jatah perkembangan manusi adalam bidang emosi maupun sosial. Perlu dilakukan tinjauan secara berkala mengenai efektifitas program akselerasi guna mengevaluasi dampak akselerasi bagi perkembangan sosial-emosional siswa. Pemerintah melalui lembaga terkait hendaknya memberi perhatian lebih pada proses seleksi maupun training bagi guru yang mengampu kelas. Dari sini diharapkan disamping mengajar ilmu, guru pada kelas akselerasi juga dapat mendidik dan mendorong siswanya guna mencapai keseimbangan kognisi dan kecerdasan sosio-emosionalnya.
Daftar Pustaka
Akbar, R & Hawadi.2001. Kosepsi Program Percepatan Belajar Bagi Anak berbakat intelektual. Disampaikan dalam pelatihan Kepala Sekolah Calon Penyelengggraa Program Percepatan Belajar. Makalah. Diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.
Akbar, R. 2004. Akselerasi (A-Z Informasi Program Pecepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual). Jakarta : Pt Gramedia
Atkinson, 1991. PengantarPsikologi jilid I Edisi Kesebelas (terjemahan). Batam : Interaksa
Chaplin. J.P.2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Grafindo Persada
Hurlock, E. B.1991. Psikologi Perkembangan Anak . Jakarta: Erlangga
Schneiders, A. 1964. Personal Adjustment and Mental Hygiene. New York: Holt Rinehart dan Wiston Inc.
www.bpkpenabur.or.id
www.repiblika.co.ic
www.researhengines.com/0107/oilman.html.htm
www.suaramerdeka.com
Identitas penulis
Nama : Ardi primasari,
Pendidikan : Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi, UGM Angkatan 2006

 
Powered by Blogger